A. Pengertian kapital
Secara etimologis kapital berasal dari kata “capital” yang akar katanya dari latin , ‘caput’ yang berarti kepala. Adapun artinnya dipahami pada abad ke 13 adalah dana, persediaan barang sejumah uang dan bunga uang pinjaman( Berger, 1990:20)
Dalam tulisan ini capital tidak diterjemahakan sebagai modal sepeti kelaziman yang dilakukan oleh banyak orang. Alasannya seperti dikemukakan oleh lawang (2004:3)dalam bukunya “capital social dalam perspektif sosiologik suatu pengantar”. Yaitu : Pertama, capital inggris memang berarti modal, boleh dalam bentuk yang digunakan untuk belanja barang capital fisik(physical capital goods) yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan. Kedua, dalam bahasa Indonesia orang sering menggunakan istilah “modal dengkul” tenaga orang itu sendiri, dalam pengertian tenaga fisik juga dalam pengertian keterampilan atau gabungan keduanya. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena keterampilan ini hanya dapat diwujudkan dengan menggunakan tenaga fisik dalam penggunaan kalori besar atau kecil. Karena alasan inilah, maka konsep capital tidak diterjemahkan dengan modal. Ketiga, merupakan alasan penulis sendiri, konsep capital berkaitan dengan suatu investasi. Oleh karena itu, capital berhubung dengan suatu proses yang cukup panjang, yang tidak dapat langsung digunakan seperti halnya “dengkul” yang ada didepam mata dan siap digunakan.
B. Pendidikan sebagai Kapital Manusia
Konsep capital manusia diperkenalkan oleh Theodore w. Schultz lewat pidatonya yang berjudul “ Investmen in human capital” dihadapkan kepada para ekonom Amerika. Pada tahun 1960. Sebelumnya para ekonom hanya mengenal capital fisik berupa alat-alat,mesin dan perlatan produktif lainnya yang ditengarai memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Gagasan capital manusia yang diajukan Schult melalui “Investment in Human Capital” adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan sekedar sebagai suatu kegiatan konsumtif, melainkan suatu bentuk investasi sumber daya manusia. Pendidikan, sebagai suatu sarana pengembangan kualitas manusia, memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi tenaga kerja.
Ace Suryadi (1999:52-53) dalam bukunya Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan” misalnya menemukan bahwa capital manusia menunjuk pada tenaga kerja yang merupakan pemegang capital sebagaimana tercermin dalam keterampilan pengetahuan dan produktivitas kerja seseorang. Elinor Ostrom (2000:175) melihat capital manusia sebagai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan. Menurut Robert M.Z. Lawang merumuskan capital manusia sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan atau pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang perlu untuk melakukan kegiatan tertentu (2004:10).
Capital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru. Capital fisik berwujud, ia diwujudkan dalam bentuk materi yang jelas. Adapun capital manusia tidak berwujud, diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari individu. Capital fisik memudahkan aktivitas produktif, begitu juga capital manusia[1].
Alasan mengapa pendidikan sebagai Human Capital adalah karena Pendidikan merupakan investasi yang paling penting dalam modal manusia untuk menjawab tantangan global pada saat ini.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sekolah tinggi dan pendidikan tinggi di Amerika Serikat sangat meningkatkan pendapatan seseorang, bahkan setelah dikurangi keluar biaya langsung dan tidak langsung sekolah, dan bahkan setelah disesuaikan untuk fakta bahwa orang dengan pendidikan lebih cenderung memiliki IQ yang lebih tinggi dan lebih baik berpendidikan.
Bukti serupa yang mencakup bertahun-tahun sekarang tersedia dari lebih dari seratus negara dengan budaya yang berbeda dan sistem ekonomi.
Pendapatan dari lebih banyak orang berpendidikan hampir selalu jauh di atas rata-rata, walaupun keuntungan umumnya lebih besar di negara-negara berkembang.
Tentu saja, pendidikan formal bukan satu-satunya cara untuk berinvestasi dalam modal manusia. Pekerja juga belajar dan dilatih di luar sekolah, terutama pada pekerjaan. Bahkan lulusan perguruan tinggi tidak sepenuhnya siap menghadapi pasar tenaga kerja ketika mereka meninggalkan sekolah dan harus dipasang ke pekerjaan mereka melalui program pelatihan formal dan informal.
Oleh karena itu keahlian dan kecakapan seseorang dalam menghadapi persaingan tenaga kerja sangat dipengahuri oleh seberapa tinggi dan luasnya pendidikan yang dimiliki masing-masing individu.
Maka dari itu diperlukannya usaha-usaha dan program-program untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan bermutu tinggi untuk menghadapi persaingan internasional karena dunia kerja sangat menunutut untuk memperoleh sumber daya manusia yang bervarietas tinggi.
Pengakuan terhadap capital manusia melalui pendidikan formal diwujudkan dalam bentuk ijazah pendidikan. Sedangkan pengakuan terhadap capital manusia yang didapat melalui pendidikan nonformal ditunjukkan oleh penerimaan terhadap serifikat yang dimiliki. Dan pendidikan informal biasanya tidak melalui ijazah atau sertifikat yang dimiliki, tetapi cenderung bersifat informal. Dengan kata lain, masyarakat mengakui seseorang memiliki suatu pengetahuan, keterampilan, kemampuan atau atribut serupa lainnya yang diperlukan oleh masyarakat seperti kemampuan memijat atau pengobatan alernatif.
C. Pendidikan sebagai capital social
Kapital social adalah investasi social yang meliputi sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan social untuk mencapai tujuan individual dan atau kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya.
Capital sebagai investasi social, oleh karena itu, memiliki aspek statis dan dinamis. Dengan kata lain, aspek statis dan dinamis dari capital social bagaikan dua sisi yang berbeda dari koin mata uang yang sama. Adapun aspek statis dari capital social adalah sumber daya social, sedangkan aspek dinamisnya adalah kekuatan yang menggerakkan. Sumber daya social sebagai aspek statis dari capital social dipahami dalam arti bahwa sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma merupakan capital yang diperlukan dalam suatu struktur hubungan social.
Apa sumber daya dari capital social? Sumber daya dari capital social adalah jaringan, kepercayaan, nilai dan norma. Jaringan social adalah hubungan antar individu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau dikaitkan denga sesuatu berbagai simpul dan ikatan. Zucker (1986) member batasan kepercayaan sebagai seperangkat harapan yang dimiliki bersama-sama oleh semua yang berada dalam pertukaran. Sedangkan nilai dipahami sebagai gagasan mengenai apakah sesuatu pengalaman berarti, berharga, bernilai, dan tidak pantas. Dan norma sebagai sumber daya social terakhir, dipahami sebagai aturan main bersama yang menuntun perilaku seseorang. Norma memberikan kita suatu cara dimana kita mengorientasikan diri kita terhadap orang lain.
Mengikuti pendidikan formal dan informal seseorang akan memperoleh segala sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma. Tentu saja semakin banyak kita mengikuti pendidikan formal maupun informal, jaringan social yang kita dapat akan semakin banyak dan luas. Terutama dalam pendidikan formal, ketika seseorang menyelesaikan studi disuatu sekolah atau perguruan tinggi, maka ia memperoleh predikat sebagai alumni. Capital social yang diolah dari sumber daya jaringan alumni akan bertambah kuat bila orang tersebut mampu menciptakan suatu derajat kepercayaan antara dia dan para alumni lainnya. Selain itu, ketika dia masih sebagai siswa atau mahasiswa, dia juga memperoleh nilai dan norma tertentu, biasanya nilai dan norma tentang kerja keras, jujur, santun, dan lainnya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Bila kesemua itu dapat dikelola dengan baik, maka capital social yang dimiliki akan semakin kuat.
D. Pendidikan sebagai Kapital Budaya
Dari pendapat beberapa ahli mengenai capital budaya, dapat disimpulkan bahwa capital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan culture yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Menurut Lawang (2004:16-18), Bourdieu menjelaskan capital budaya dalam tiga dimensi: yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah badan, objek dalam bentuk apa saja yang pernah dihasilkan oleh manusia dan institusional, khususnya menunjuk pada pendidikan. Dimensi manusia dari capital budaya adalah embodied state yaitu keadaan yang membadan atau keadaaan yang terwujud dalam badan manusia atau yang menyatu seluruhnya dengan manusia sebagai satu kesatuan. Sementara dimensi objek dari capital budaya, dikenal sebagai objectified state yaitu suatu keadaan yang sudah dibendakan atau dijadikan objek oelh manusia. Adapaun dimensi institusional dari capital budaya menunjukkan suatu keadaan dimana benda-benda itu sudah menunjukkan entisitas yang sama sekali terpisah dan mandiri, yang diperlihatkan dalam system pendidikan. Dengan demikian, capital budaya menunjuk yang pada keadaan yang berwujud potensial, bagi seseorang yang diuangkan atau dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya.
Dari pengertian tentang capital budaya dan penjelasannya tampak jelas bahwa pendidikan memberikan seseorang modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penafsiran nilai. Pendidikan membentuk kompetensi dan pengetahuan cultural seseorang. Kompetensi dan pengetahuan cultural tersebut memberikan seseorang preferensi dalam berpikir,bersikap, bertindak dan berperiaku dalam bahasa. Nilai-nilai,asumsi-asumsi dan model-model tentang keberhasilan dan kegagalan,cantik dan jelek, indah dan buruk, sehat dan sakit, sopan dan asalan.
E. Pendidikan sebagai capital simbolik
Dalam pandangan Bourdieu (1977:183), capital simbolik merupakan suatu bentuk capital ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan karenannya telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk capital ‘material’ yang adalah pada hakikatnya sumber efek-efeknya juga. Pengertian tersebut memanglah masih sulit dipahami, maka dari itu, mari kita jelaskan capital simbolik dengan contoh. Katakanlah seseorang yang barusan mendapatkan undian sebanyak Rp 500 milyar akan masuk kedalam ekonomi atas. Namun orang ini belum tentu memiliki capital budaya dan simbolik yang tinggi. Berbeda dengan seseorang yang berasal adri keluarga kaya, melalui sosialisasi atau reproduksi social, memperoleh jenis pendidikan, gaya, rasa, dan selera tertentu tentang sesuatu. Pembedaan orang dalam pendidikan, gaya, rasa, dan selera tertentu tentang sesuatu ( makanan, pakaian, perabotan rumah, music, drama, sastra, lukisan, film, fotografi, dan preferensi etis lainnya), pada gilirannya member dampak pada perbedaan orang dalam prestise, status, otoritas, dan kehormatan social. Dengan kata lain, keterampilan mengatur symbol social tidak serta merta atau segera diperoleh seseorang ketika dia mendapatkan capital ekonomi yang tinggi, karena keterampilan ini diperoleh melalui proses yang panjang melalui pendidikan atau reproduksi social lainnya.
F. Hubungan antara Kapital Manusia, Sosial, Budaya, dan Simbolik dalam kaitannya dengan Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua capital yang ada(capital manusia,social,budaya, dan simbolik), selain sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam capital budaya dan capital simbolik. Dengan demikian pendidikan menjadi simpul dari pertemuan semua capital yang ada, secara ringkas melalui table dibawah ini.
Jenis Kapital | Atribut | Peranan Pendidikan |
Manusia | Pengetahuan,ketrampilan,kemampuan,dan stribut serupa lainnya | Agen sosialisasi |
Sosial | Jaringan alumni,kepercayaan dan kerja sama | Agen sosialisasi |
Budaya | Kompetensi atau pengetahuan kultural | Agen sosialisasi dan hegemonik |
Simbolik | Kemampuan mengatur Simbol | Agen sosialisasi dan hegemonik |
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara etimologis kapital berasal dari kata “capital” yang akar katanya dari latin , ‘caput’ yang berarti kepala.
Capital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru. Capital fisik berwujud, ia diwujudkan dalam bentuk materi yang jelas. Adapun capital manusia tidak berwujud, diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari individu. Capital fisik memudahkan aktivitas produktif, begitu juga capital manusia
Kapital social adalah investasi social yang meliputi sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan social untuk mencapai tujuan individual dan atau kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya.
Dari pendapat beberapa ahli mengenai capital budaya, dapat disimpulkan bahwa capital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan culture yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua capital yang ada(capital manusia,social,budaya, dan simbolik), selain sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam capital budaya dan capital simbolik. Dengan demikian pendidikan menjadi simpul dari pertemuan semua capital yang ada
DAFTAR PUSTAKA
Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan: Kencana Prenada Media Group ,Jakarta. 2011